Nasional Demokrat, Calon Pesaing PD, Golkar & PDIP?
Rabu, 03 Februari 2010
, Posted by ARY at 16.32
Mantan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh bersama sejumlah tokoh nasional lintas parpol dan nonparpol, hari ini mendeklarasikan sebuah gerakan sosial bernama Nasional Demokrat. Banyak orang menyebut mobilisasi ini sebagai kendaraan politik “barisan sakit hati”, meski sejumlah deklarator membantah gerakan ini sebagai cikal bakal partai politik.
Dikatakan kelompok sakit hati memang bukan tanpa alasan, sebab beberapa deklarator tak terkecuali Paloh, adalah para oposan Golkar yang “mental” saat Munas Partai Beringin ini di Pekanbaru, Riau, beberapa bulan lalu. Mereka juga termasuk kubu yang berseberangan dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Sebut saja Sri Sultan Hamengkubuwono X, Poempida Hidayatullah, Meutia Hafid, Samsul Mu’arif dan Siswono Yudhohusodo.
Menurut mantan Tim Kampanye Calon Presiden Jusuf Kala (JK)-Woranto Poempida Hidayatullah, politisi-politisi Golkar yang ikut menyokong terbentuknya ormas ini, memang sudah tidak diberi ruang untuk berkarya di partai yang berdiri sejak tahun 1964 lalu itu.
Tokoh lain yang juga ikut menjadi inisiator gerakan ini adalah Budiman Sujatmiko, dan Khafifah Indar Parawansa yang politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Akbar Faisal yang politisi Partai Hanura, serta tokoh-tokoh nasional nonpartai seperti Anies Baswedan, Eep Saifullah Fatah, dan Syafi’I Ma’arif.
Mereka semua kompak satu suara menegaskan bahwa Nasional Demokrat didirikan bukan sebagai gerakan oposisi partai manapun. Namun diniatkan sebagai gerakan sosial, yang mengisi kekosongan akibat minimnya peran pemerintah.
Terkesan normatif memang, jika ormas yang memiliki visi merestorasi Indonesia menuju kemerdekaan Indonesia yang utuh itu sebatas berdiri sebagai “organisasi penonton” yang kritis terhadap program-program pemerintah.
Simak saja, dalam sebuah jejaring sosial Facebook, gerakan ini mencoba mengkampanyekan sebuah gerakan yang berupaya menata kembali demokrasi melalui partisipasi rakyat dari tingkat lokal hingga terbentuknya solidaritas nasional melalui partai politik dan non-partai.
Nasional Demokrat juga berupaya memantapkan reformasi birokrasi sebagai pelayan rakyat dan bukan alat kekuasaan, negara-bangsa dan negara konstitusional yang kuat.
Disebutkan pula, bahwa gerakan ini tidak hanya bertumpu di Jakarta, namun akan terus bergerak memberi perubahan di titik-titik sumbu yang terpencar di seluruh penjuru Indonesia, layaknya gerakan politik praktis.
Entahlah. Semua pihak memang berhak untuk berserikat dan berkumpul dengan jaminan Undang-Undang Dasar 1945. Bukan mustahil gerakan besar ini menargetkan untuk mengeroyok hegemoni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat.
Melihat perayaannya yang begitu gemerlap dan meriah, bertabur artis, dihadiri sejumlah tokoh politik, seperti Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufiq Kiemas, Akbar Tandjung, Wiranto dan tokoh-tokoh besar lain, organisasi ini boleh jadi hendak mencuri perhatian publik dengan dalih membantu penyelesaian program-program yang tidak tersentuh oleh pemerintah.
Bagaimana konsep gerakan ini, serta perannya dalam merebut simpati massa? Apakah ormas ini kelak bakal menyalin rupa menjadi partai pesaing triumpirate (PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat) atau justru bergabung dengan secara konotatif melawan Partai Demokrat? Semua masih menjadi pertanyaan besar. Kita Tunggu Saja!
Dikatakan kelompok sakit hati memang bukan tanpa alasan, sebab beberapa deklarator tak terkecuali Paloh, adalah para oposan Golkar yang “mental” saat Munas Partai Beringin ini di Pekanbaru, Riau, beberapa bulan lalu. Mereka juga termasuk kubu yang berseberangan dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Sebut saja Sri Sultan Hamengkubuwono X, Poempida Hidayatullah, Meutia Hafid, Samsul Mu’arif dan Siswono Yudhohusodo.
Menurut mantan Tim Kampanye Calon Presiden Jusuf Kala (JK)-Woranto Poempida Hidayatullah, politisi-politisi Golkar yang ikut menyokong terbentuknya ormas ini, memang sudah tidak diberi ruang untuk berkarya di partai yang berdiri sejak tahun 1964 lalu itu.
Tokoh lain yang juga ikut menjadi inisiator gerakan ini adalah Budiman Sujatmiko, dan Khafifah Indar Parawansa yang politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Akbar Faisal yang politisi Partai Hanura, serta tokoh-tokoh nasional nonpartai seperti Anies Baswedan, Eep Saifullah Fatah, dan Syafi’I Ma’arif.
Mereka semua kompak satu suara menegaskan bahwa Nasional Demokrat didirikan bukan sebagai gerakan oposisi partai manapun. Namun diniatkan sebagai gerakan sosial, yang mengisi kekosongan akibat minimnya peran pemerintah.
Terkesan normatif memang, jika ormas yang memiliki visi merestorasi Indonesia menuju kemerdekaan Indonesia yang utuh itu sebatas berdiri sebagai “organisasi penonton” yang kritis terhadap program-program pemerintah.
Simak saja, dalam sebuah jejaring sosial Facebook, gerakan ini mencoba mengkampanyekan sebuah gerakan yang berupaya menata kembali demokrasi melalui partisipasi rakyat dari tingkat lokal hingga terbentuknya solidaritas nasional melalui partai politik dan non-partai.
Nasional Demokrat juga berupaya memantapkan reformasi birokrasi sebagai pelayan rakyat dan bukan alat kekuasaan, negara-bangsa dan negara konstitusional yang kuat.
Disebutkan pula, bahwa gerakan ini tidak hanya bertumpu di Jakarta, namun akan terus bergerak memberi perubahan di titik-titik sumbu yang terpencar di seluruh penjuru Indonesia, layaknya gerakan politik praktis.
Entahlah. Semua pihak memang berhak untuk berserikat dan berkumpul dengan jaminan Undang-Undang Dasar 1945. Bukan mustahil gerakan besar ini menargetkan untuk mengeroyok hegemoni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat.
Melihat perayaannya yang begitu gemerlap dan meriah, bertabur artis, dihadiri sejumlah tokoh politik, seperti Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufiq Kiemas, Akbar Tandjung, Wiranto dan tokoh-tokoh besar lain, organisasi ini boleh jadi hendak mencuri perhatian publik dengan dalih membantu penyelesaian program-program yang tidak tersentuh oleh pemerintah.
Bagaimana konsep gerakan ini, serta perannya dalam merebut simpati massa? Apakah ormas ini kelak bakal menyalin rupa menjadi partai pesaing triumpirate (PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat) atau justru bergabung dengan secara konotatif melawan Partai Demokrat? Semua masih menjadi pertanyaan besar. Kita Tunggu Saja!

Jakarta














Currently have 0 komentar: